PELAPISAN SOSIAL & KESAMAAN DERAJAT
POKOK HAK ASASI DALAM 4 PASAL YANG TERCANTUM PADA UUD’45
UUD
1945 setelah melalui Amandemen IV memberi jaminan hak asasi jauh lebih luas
dari UUD 1945. Dalam Konstitusi, pengadilan harus menghormati dan memberlakukan
hak warga terhadap kekuasaan publik ini – baik legislatif, eksekutif maupun
judisial. Untuk itu pengadilan senantiasa harus melakukan interpertasi atas
hak-hak konstitusional, juga memperhatikan perkembangan hukum hak asasi
internasional karena enam konvensi utama hak asasi manusia telah diratifikasi
oleh Indonesia.
#
Hak Atas Kesehatan
#
Hak Atas Perumahan
#
Hak Atas Pendidikan
#
Hak Atas Informasi
#
Hak Untuk Berpartisipasi Dalam Pemerintahan
#
Hak Atas Akses Pada Keadilan dan Persamaan di Hadapan Hukum
#
Hak Masyarakat Adat
#
Hak Untuk Bebas Dari Penyiksaan atau Perlakuan Lain yang Merendahkan Derajat
Martabat Manusia
#
Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadat Menurut Agama dan Kepercayaan
Masing-Masing
Hak
Atas Kesehatan
Kesehatan
dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi yang baik dan sempurna secara fisik,
mental dan sosial dan bukan hanya kondisi penyakit atau kelemahan fisik belaka.
Hak atas kesehatan dijamin dalam Pasal 28 H (1) dan Pasal 34 (3) dari Amandemen
IV UUD 1945, hak ini juga diakui secara universal dalam berbagai instrumen
hukum HAM internasional, yaitu pasal 25(1) DUHAM kemudian diatur dalam
ketentuan yang lebih mengikat pada Pasal 12 Kovenan Hak Ekosob.
Komite
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya memberikan interpertasi legal tentang 4 elemen
terkait hak atas kesehatan melalui General Comment 14, yaitu; 1) Availability
(ketersediaan); 2) Accessibility (adanya akses); 3) Acceptability (dapat
diterima menurut etika dan kebudayaan); dan 4) Quality (kualitas). Sementara
itu negara memiliki 3 kewajiban tentang hak atas kesehatan, yaitu: 1)
Menghormati (respect); 2) Melindungi (protect); dan 3) Memenuhi (fulfill).
Hak
Atas Perumahan
Hak
atas perumahan dijamin secara eksplisit dalam Pasal 28 H (1) dan Pasal 28E(1)
UUD 1945. Pengakuan legal internasional tentang hak tersebut yang paling
otoritatif dapat ditemukan pada Pasal 11(1) Kovenan Internasional Hak Ekosob.
Hak ini harus diartikan lebih dari sekedar adanya atap atau sebagai komoditi
semata. Melainkan harus dilihat sebagai hak untuk hidup dimana saja dalam
keadaan aman, damai dan bermartabat.
Penggusuran
tempat tinggal untuk keindahan kota, atau atas nama pembangunan, atau mencegah
pertumbuhan tidak bisa lagi diterima karena Hak Atas Perumahan sudah dijamin
oleh Konstitusi, dan pelanggaran terhadapnya adalah pelanggaran HAM.
Hak
Atas Pendidikan
Hak
atas pendidikan dijamin dalam Pasal 28(C) dan Pasal 28(E) (1) Amandemen II UUD
1945, dan Pasal 31 (1), (2) dan (4) Amandemen IV UUD 1945. Hak ini sangat
penting baik bagi pemenuhan hak-hak sipil maupun hak-hak sosial dan ekonomi
lainnya, karena jika hak ini dilanggar baik langsung atau tidak akan
mempengaruhi kualitas pemenuhan hak-hak atas kesehatan, pekerjaan maupun
hak-hak sipil politik. Hak atas pendidikan dalam konstitusi mencakup: 1) Hak mendapat
pendidikan (Pasal 28C (1) jo. Pasal 31(1)); 2) Hak memilih pendidikan dan
pengajaran (Pasal 28E(1)); 3) Hak atas pendidikan dasar dan kewajiban korelatif
negara untuk menyediakan pendidikan dasar (Pasal 31(2)); 4) Kewajiban negara
menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Hak dan
kewajiban ini sesuai dengan standar-standar hak asasi internasional yang
tercermin pada Kovenan Hak Ekosob Pasal 14, dan Pasal 13 dari KHA dan KPSDP.
Hak
Atas Informasi
Informasi
yang kuat dan berimbang melindungi masyarakat dari analisis dan laporan yang
keliru. Untuk itu kebebasan mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi tidak
boleh dihambat karena telah diakui sebagai hak asasi yang menjadi landasan bagi
pemenuhan hak-hak lain. Disamping itu, kebebasan informasi juga sangat penting
karena merupakan salah satu fondasi pokok dari masyarakat demokrasi. Hak Atas
Informasi telah diakui dalam konstitusi pada Pasal 28E(2) dan 28F Amandemen UUD
1945 yang menjamin bagi perolehan, pemilikan, dan penyebaran informasi.
Hak
atas informasi sudah diakui dan dijaminan dalam hukum internasional, hak ini
merupakan bagian dari hak menyatakan pendapat (kebebasan berekspresi)
sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 DUHAM dan Pasal 19 Konvensi Hak Sipol.
Hak
Untuk Berpartisipasi Dalam Pemerintahan
Demokrasi
adalah sebuah sistem dimana rakyat mengontrol kekuasaan negara dan bukan
sebaliknya, sehingga demokrasi memungkinkan kontrol rakyat (sebagai bentuk
partisipasi) terhadap pengambilan keputusan publik dan adanya persamaan
politik. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan merupakan bagian dari hak
politik setiap manusia yang dijamin konstitusi sebagaimana dijelaskan pada
Pasal 28 (3), Pasal 27 (1), Pasal 22E, Pasal 6(A) dan Pasal 7(A) Amandemen UUD
1945.
Hak
untuk terlibat dalam menjalankan urusan publik tidak selalu harus melalui
wakil-wakil yang dipilih akan tetapi juga bisa langsung (Pasal 25 Kovenan Hak
Sipol). Hak-hak ini juga dijamin dalam UU HAM Pasal 24 (2), Pasal 43 dan 44.
Oleh karena itu, hak itu mencakup: Hak untuk ikut dalam pemilihan umum regular
yang bebas, rahasia dan adil; Hak untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan;
Hak membentuk partai; Hak rakyat untuk memiliki akses pada wakil-wakil rakyat
(anggota DPR/DPD); Adanya institusi yang menjamin konsultasi publik mengenai
kebijakan publik, legislasi atau yang menyangkut pelayanan umum
Hak
Atas Akses Pada Keadilan dan Persamaan di Hadapan Hukum
Di
Indonesia, mereka yang memiliki pendirian politik tertentu, hak-hak sipil
politiknya dibatasi. Hingga kini persamaan hak atas remunerasi (upah kerja)
bagi perempuan masih jauh api dari panggang. Praktek ini menutup akses warga
bersangkutan pada keadilan. Oleh karena itu persamaan di dalam hukum (Pasal
27(1)) baik dalam bentuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil (Pasal 28D(1)) sangat penting. Hak ini mencakup pula hak atas proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, hak atas praduga tak bersalah, hak
untuk tidak dikenakan hukum yang berlaku surut yang tercantum dalam UUD
1945.Akses atas keadilan bagaimanapun juga menyangkut hak-hak korban
pelanggaran HAM atas: 1) Hak untuk mengetahui (kebenaran); 2) Hak atas
keadilan; 3) Reparasi yang dibedakan menjadi hak atas restitusi, kompensasi,
rehabilitasi dan kepuasan (satisfaction) (UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1993/9). Hak ini
bersumber pada Pasal 2 Kovenan Hak Sipol yang mengharuskan negara untuk
mengambil langkah-langkah efektif guna memberi pemulihan atas hak yang telah
dilanggar (remedy) pada korban.
Hak
Masyarakat Adat
Hak
masyarakat adat diakui dalam Pasal 28I (3) Amandemen UUD 1945 yang menentukan
bahwa: “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban” dan Pasal 32(1) Amandemen UUD 1945
yang meletakkan tanggung jawab negara untuk “memajukan kebudayaan nasional…
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya”.Hak masyarakat adat merupakan hak kolektif yang secara
universal dijamin dalam Pasal 27 Kovenan Hak Sipol yang mengatur hak minoritas
untuk menikmati budaya mereka sendiri, menjalankan agama dan bahasa mereka
sendiri.
Hak
Untuk Bebas Dari Penyiksaan atau Perlakuan Lain yang Merendahkan Derajat
Martabat Manusia
Penyiksaan
adalah ”…segala tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau penderitaan, baik
secara fisik ataupun mental, yang dilakukan terhadap seseorang dengan tujuan
untuk mendapatkan darinya atau dari pihak ketiga suatu informasi atau
pengakuan, menghukumnya atas suatu tindakan yang dilakukannya atau oleh pihak
ketiga atau yang disangka dilakukanya, atau melakukan intimidasi atau
memaksanya atau pihak ketiga untuk alasan-alasan yang berdasarkan pada segala
bentuk diskriminasi, dimana rasa sakit atau penderitaan tersebut dilakukan atau
dimulai atau dengan persetujuan atau pembiaran oleh aparat Negara atau orang
lain yang bertindak dengan kapasitas resmi. Hal ini tidak termasuk rasa sakit
atau penderitaan yang ditimbulkan akibat sesuatu yang sifatnya melekat atau
merupakan turunan dari sanksi hukum yang sah”.Hak untuk bebas dari penyiksaan
dan perlakuan lain yang merendahkan derajat martabat manusia diatur di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 di dalam Pasal 28G yang menyatakan “…Setiap orang
berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture and other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT/KAP) pada tanggal 28
Oktober 1998 melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan
Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau
Merendahkan Martabat Manusia.
Hak
Atas Kebebasan Beragama dan Beribadat Menurut Agama dan Kepercayaan
Masing-Masing
Hak
atas kebebasan beragama/berkeyakinan dan beribadat sudah sejak lama menjadi
bagian dari hak konstitusi RI (pasal 29 ay.1, pasal 28 (e) ay.1 dan 2 UUD
1945). Secara internasional hak berkeyakinan ini dijamin pada pasal 18
Deklarasi Universal HAM, hak tersebut dijelaskan lebih lanjut pada pasal 18
Kovenan Internasional Hak SIPOL yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan
karenanya berlaku sebagai hukum melalui Undang-undang No. 12 tahun 2005.Hak
asasi untuk bebas beragama/berkeyakinan tergolong hak yang bersifat
“non-derogable”, yang artinya tidak dapat ditangguhkan dalam keadaan apapun,
meskipun dalam kondisi negara dalam keadaan darurat (bahaya). Namun penerapan
kebebasan berkeyakinan/beragama masih buruk. UU No.1/PNPS/1965 yang mengatur
tentang pokok-pokok ajaran agama justru memberi wewenang Dept. Agama untuk
menyelidiki status keyakinan tertentu sebagai agama atau bukan dan juga pada UU
itu hanya 6 agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan Konghucu) yang
diakui. Dampak yang dikawatirkan terjadi adalah perlakuan yang berbeda atas
agama/keyakinan yang tidak diakui – seperti kepercayaan lokal atau kasus Lia
”Eden” Aminuddin. (http://www.lbh-makassar.org/?p=1397)
B. PENGERTIAN ELIT
orang-orang terbaik
atau pilihan dl suatu kelompok, kelompok kecil orang-orang terpandang atau
berderajat tinggi (kaum bangsawan, cendekiawan, dsb);
meng·e·lite menjadi elite: organisasi kemasyarakatan itu kini cenderung dan terpisah dr massa umat yg terbelakang, miskin, dan bodoh Elit lokal merupakan orang perorangan atau aliansi dari orang yang dinilai pintar dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat, misalnya para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan orang-orang yang mempunyai kemampauan finansial yang relatif tinggi dibanding masyarakat umum. Atau dengan kata lain elit lokal diartikan sebagai elit non politik . Memang agak sulit untuk membedakan defenisi elit secara konseptual dan perlunya terminologi yang lebih cermat, dan ini sudah menjadi perdebatan panjang antara berbagai intelektual yang memberikan perhatian pada elit.
meng·e·lite menjadi elite: organisasi kemasyarakatan itu kini cenderung dan terpisah dr massa umat yg terbelakang, miskin, dan bodoh Elit lokal merupakan orang perorangan atau aliansi dari orang yang dinilai pintar dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat, misalnya para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan orang-orang yang mempunyai kemampauan finansial yang relatif tinggi dibanding masyarakat umum. Atau dengan kata lain elit lokal diartikan sebagai elit non politik . Memang agak sulit untuk membedakan defenisi elit secara konseptual dan perlunya terminologi yang lebih cermat, dan ini sudah menjadi perdebatan panjang antara berbagai intelektual yang memberikan perhatian pada elit.
Elit lokal
didefinisikan sebagai elit yang tidak memerintah tetapi memiliki pengaruh dalam
masyrakat lokal dan elit politik diartikan secara fungsional sebagai elit yang
memerintah. Otonomi daerah sebagai amanat dari reformasi disambut cukup
antusias oleh masyarakat lokal. Ada banyak harapan dan keinginan yang mereka
sandarkan pada otonomi darah, meningkatnya pembangunan daerah dan juga
pengingkatan ekonomi dan kesejahteraan. Inilah mimpi-mimpi dari agenda
desentralisasi dan implementasi otonomi daerah. (http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/artikel-politik-dan-kebijakan/peranan-elit-lokal-dalam-mewujudkan-demokratisasi-di-daerah-pasca-reformasi/mrdetail/6615/)
STUDY KASUS:
Ata’Doeloe dan Kini
ATA’. Tiga kata ini jika dilabelkan kepada seseorang, khususnya dalam masyarakat Bugis Makassar bisa memunculkan perasaan yang berbeda – beda. Bisa memunculkan rasa kebanggaan sebagian kecil orang, tapi kebanyakannya diartikan sebagai sebuah bentuk penghinaan. Jika kita berbicara strata sosial, maka inilah strata paling rendah dalam masyarakat Bugis Makassar. Hanya saja dalam konteks kekinian, Ata’ yang dulunya dipahami sebagai budak kini lebih dipahami sebagai bawahan, pesuruh, atau pembantu.
ATA’. Tiga kata ini jika dilabelkan kepada seseorang, khususnya dalam masyarakat Bugis Makassar bisa memunculkan perasaan yang berbeda – beda. Bisa memunculkan rasa kebanggaan sebagian kecil orang, tapi kebanyakannya diartikan sebagai sebuah bentuk penghinaan. Jika kita berbicara strata sosial, maka inilah strata paling rendah dalam masyarakat Bugis Makassar. Hanya saja dalam konteks kekinian, Ata’ yang dulunya dipahami sebagai budak kini lebih dipahami sebagai bawahan, pesuruh, atau pembantu.
Suatu waktu, secara
tidak sengaja saya menyaksikan seorang ibu rumah tangga, sebut saja namanya
Daeng Massuro memperlakukan secara tidak manusiawi seorang anak (umurnya baru
sekitar 7 tahun) yang diangkatnya sebagai “pembantunya”. Hanya karena persoalan
yang sangat kecil, sang anak ini disuruh membeli indomie rasa kari ayam,
sementara dia pulang dengan membawa indomie rasa soto ayam. Sebuah sandal jepit
bututpun melayang ke mukanya. Masya Allah, saya terkejut bukan main, mata saya
nanar menyaksikannya seraya mengepalkan tangan. Duuchh, anak itu yang
dibelakang hari saya ketahui seorang anak yatim begitu tegar menerima
perlakukan majikannya. Dia hanya mengelus – elus pipinya seraya mengiris penuh
kesakitan. Isak tangis tidak terdengar sedikitpun, mungkin karena sudah
terbiasa menerima tempelen sandal jepit seperti itu.
Bukan satu dua kali saya menyaksikan kekejaman seperti kisah diatas. Mengangkat pembantu adalah sebuah pilihan berat karena pembantu idealnya adalah partner kerja meskipun dia bekerja dibawah perintah kita. Mereka bukanlah barang mati, yang tidak punya pikiran dan perasaan. Mereka tentu punya juga keinginan untuk dihargai, dan tentu saja tidak bakalan menolak jika diajak berkomunikasi secara baik dengan penuh kesantunan dan kasih sayang. Karena itu, tidak selayaknya pembantu diperlakukan layaknya ata’ atau budak. Dalam banyak kasus—semoga kita tidak termasuk diantaranya—seringkali pembantu dipersamakan dengan budak. Yang selalu muncul di pikiran kita, ”pokoknya dia harus nurut, kalau tidak awas …. ”. Kasus Daeng Massuro diatas merupakan satu bukti nyata dimana pembantu diperlakukan tak lebih dari seorang budak baginya.
Bukan satu dua kali saya menyaksikan kekejaman seperti kisah diatas. Mengangkat pembantu adalah sebuah pilihan berat karena pembantu idealnya adalah partner kerja meskipun dia bekerja dibawah perintah kita. Mereka bukanlah barang mati, yang tidak punya pikiran dan perasaan. Mereka tentu punya juga keinginan untuk dihargai, dan tentu saja tidak bakalan menolak jika diajak berkomunikasi secara baik dengan penuh kesantunan dan kasih sayang. Karena itu, tidak selayaknya pembantu diperlakukan layaknya ata’ atau budak. Dalam banyak kasus—semoga kita tidak termasuk diantaranya—seringkali pembantu dipersamakan dengan budak. Yang selalu muncul di pikiran kita, ”pokoknya dia harus nurut, kalau tidak awas …. ”. Kasus Daeng Massuro diatas merupakan satu bukti nyata dimana pembantu diperlakukan tak lebih dari seorang budak baginya.
OPINI:
Terkadang kita suka salah memperlakukan pembantu,kita harus
ingat “pembantu juga memiliki hHAK sama
seperti kita(majikan) tetapi hanya beda kondisi kehidupannya.Kita memiliki
prinsip BINEKA TUNGGAL IKA meskipun kita berbeda-beda tetapi kita tetap satu
jua
,berbeda ras,suku,budaya,adat serta agama namun kita semua sebagai WNI tetap memiliki HAK yg sama
,berbeda ras,suku,budaya,adat serta agama namun kita semua sebagai WNI tetap memiliki HAK yg sama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar