Rabu, 23 November 2011


PELAPISAN SOSIAL & KESAMAAN DERAJAT

   POKOK HAK ASASI DALAM 4 PASAL YANG TERCANTUM PADA UUD’45
UUD 1945 setelah melalui Amandemen IV memberi jaminan hak asasi jauh lebih luas dari UUD 1945. Dalam Konstitusi, pengadilan harus menghormati dan memberlakukan hak warga terhadap kekuasaan publik ini – baik legislatif, eksekutif maupun judisial. Untuk itu pengadilan senantiasa harus melakukan interpertasi atas hak-hak konstitusional, juga memperhatikan perkembangan hukum hak asasi internasional karena enam konvensi utama hak asasi manusia telah diratifikasi oleh Indonesia.
# Hak Atas Kesehatan
# Hak Atas Perumahan
# Hak Atas Pendidikan
# Hak Atas Informasi
# Hak Untuk Berpartisipasi Dalam Pemerintahan
# Hak Atas Akses Pada Keadilan dan Persamaan di Hadapan Hukum
# Hak Masyarakat Adat
# Hak Untuk Bebas Dari Penyiksaan atau Perlakuan Lain yang Merendahkan Derajat Martabat Manusia
# Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadat Menurut Agama dan Kepercayaan Masing-Masing
Hak Atas Kesehatan
Kesehatan dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi yang baik dan sempurna secara fisik, mental dan sosial dan bukan hanya kondisi penyakit atau kelemahan fisik belaka. Hak atas kesehatan dijamin dalam Pasal 28 H (1) dan Pasal 34 (3) dari Amandemen IV UUD 1945, hak ini juga diakui secara universal dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional, yaitu pasal 25(1) DUHAM kemudian diatur dalam ketentuan yang lebih mengikat pada Pasal 12 Kovenan Hak Ekosob.
Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya memberikan interpertasi legal tentang 4 elemen terkait hak atas kesehatan melalui General Comment 14, yaitu; 1) Availability (ketersediaan); 2) Accessibility (adanya akses); 3) Acceptability (dapat diterima menurut etika dan kebudayaan); dan 4) Quality (kualitas). Sementara itu negara memiliki 3 kewajiban tentang hak atas kesehatan, yaitu: 1) Menghormati (respect); 2) Melindungi (protect); dan 3) Memenuhi (fulfill).
Hak Atas Perumahan
Hak atas perumahan dijamin secara eksplisit dalam Pasal 28 H (1) dan Pasal 28E(1) UUD 1945. Pengakuan legal internasional tentang hak tersebut yang paling otoritatif dapat ditemukan pada Pasal 11(1) Kovenan Internasional Hak Ekosob. Hak ini harus diartikan lebih dari sekedar adanya atap atau sebagai komoditi semata. Melainkan harus dilihat sebagai hak untuk hidup dimana saja dalam keadaan aman, damai dan bermartabat.
Penggusuran tempat tinggal untuk keindahan kota, atau atas nama pembangunan, atau mencegah pertumbuhan tidak bisa lagi diterima karena Hak Atas Perumahan sudah dijamin oleh Konstitusi, dan pelanggaran terhadapnya adalah pelanggaran HAM.
Hak Atas Pendidikan
Hak atas pendidikan dijamin dalam Pasal 28(C) dan Pasal 28(E) (1) Amandemen II UUD 1945, dan Pasal 31 (1), (2) dan (4) Amandemen IV UUD 1945. Hak ini sangat penting baik bagi pemenuhan hak-hak sipil maupun hak-hak sosial dan ekonomi lainnya, karena jika hak ini dilanggar baik langsung atau tidak akan mempengaruhi kualitas pemenuhan hak-hak atas kesehatan, pekerjaan maupun hak-hak sipil politik. Hak atas pendidikan dalam konstitusi mencakup: 1) Hak mendapat pendidikan (Pasal 28C (1) jo. Pasal 31(1)); 2) Hak memilih pendidikan dan pengajaran (Pasal 28E(1)); 3) Hak atas pendidikan dasar dan kewajiban korelatif negara untuk menyediakan pendidikan dasar (Pasal 31(2)); 4) Kewajiban negara menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Hak dan kewajiban ini sesuai dengan standar-standar hak asasi internasional yang tercermin pada Kovenan Hak Ekosob Pasal 14, dan Pasal 13 dari KHA dan KPSDP.
Hak Atas Informasi
Informasi yang kuat dan berimbang melindungi masyarakat dari analisis dan laporan yang keliru. Untuk itu kebebasan mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi tidak boleh dihambat karena telah diakui sebagai hak asasi yang menjadi landasan bagi pemenuhan hak-hak lain. Disamping itu, kebebasan informasi juga sangat penting karena merupakan salah satu fondasi pokok dari masyarakat demokrasi. Hak Atas Informasi telah diakui dalam konstitusi pada Pasal 28E(2) dan 28F Amandemen UUD 1945 yang menjamin bagi perolehan, pemilikan, dan penyebaran informasi.
Hak atas informasi sudah diakui dan dijaminan dalam hukum internasional, hak ini merupakan bagian dari hak menyatakan pendapat (kebebasan berekspresi) sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 DUHAM dan Pasal 19 Konvensi Hak Sipol.
Hak Untuk Berpartisipasi Dalam Pemerintahan
Demokrasi adalah sebuah sistem dimana rakyat mengontrol kekuasaan negara dan bukan sebaliknya, sehingga demokrasi memungkinkan kontrol rakyat (sebagai bentuk partisipasi) terhadap pengambilan keputusan publik dan adanya persamaan politik. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan merupakan bagian dari hak politik setiap manusia yang dijamin konstitusi sebagaimana dijelaskan pada Pasal 28 (3), Pasal 27 (1), Pasal 22E, Pasal 6(A) dan Pasal 7(A) Amandemen UUD 1945.
Hak untuk terlibat dalam menjalankan urusan publik tidak selalu harus melalui wakil-wakil yang dipilih akan tetapi juga bisa langsung (Pasal 25 Kovenan Hak Sipol). Hak-hak ini juga dijamin dalam UU HAM Pasal 24 (2), Pasal 43 dan 44. Oleh karena itu, hak itu mencakup: Hak untuk ikut dalam pemilihan umum regular yang bebas, rahasia dan adil; Hak untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan; Hak membentuk partai; Hak rakyat untuk memiliki akses pada wakil-wakil rakyat (anggota DPR/DPD); Adanya institusi yang menjamin konsultasi publik mengenai kebijakan publik, legislasi atau yang menyangkut pelayanan umum
Hak Atas Akses Pada Keadilan dan Persamaan di Hadapan Hukum
Di Indonesia, mereka yang memiliki pendirian politik tertentu, hak-hak sipil politiknya dibatasi. Hingga kini persamaan hak atas remunerasi (upah kerja) bagi perempuan masih jauh api dari panggang. Praktek ini menutup akses warga bersangkutan pada keadilan. Oleh karena itu persamaan di dalam hukum (Pasal 27(1)) baik dalam bentuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil (Pasal 28D(1)) sangat penting. Hak ini mencakup pula hak atas proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, hak atas praduga tak bersalah, hak untuk tidak dikenakan hukum yang berlaku surut yang tercantum dalam UUD 1945.Akses atas keadilan bagaimanapun juga menyangkut hak-hak korban pelanggaran HAM atas: 1) Hak untuk mengetahui (kebenaran); 2) Hak atas keadilan; 3) Reparasi yang dibedakan menjadi hak atas restitusi, kompensasi, rehabilitasi dan kepuasan (satisfaction) (UN Doc. E/CN.4/Sub.2/1993/9). Hak ini bersumber pada Pasal 2 Kovenan Hak Sipol yang mengharuskan negara untuk mengambil langkah-langkah efektif guna memberi pemulihan atas hak yang telah dilanggar (remedy) pada korban.
Hak Masyarakat Adat
Hak masyarakat adat diakui dalam Pasal 28I (3) Amandemen UUD 1945 yang menentukan bahwa: “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” dan Pasal 32(1) Amandemen UUD 1945 yang meletakkan tanggung jawab negara untuk “memajukan kebudayaan nasional… dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.Hak masyarakat adat merupakan hak kolektif yang secara universal dijamin dalam Pasal 27 Kovenan Hak Sipol yang mengatur hak minoritas untuk menikmati budaya mereka sendiri, menjalankan agama dan bahasa mereka sendiri.
Hak Untuk Bebas Dari Penyiksaan atau Perlakuan Lain yang Merendahkan Derajat Martabat Manusia
Penyiksaan adalah ”…segala tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau penderitaan, baik secara fisik ataupun mental, yang dilakukan terhadap seseorang dengan tujuan untuk mendapatkan darinya atau dari pihak ketiga suatu informasi atau pengakuan, menghukumnya atas suatu tindakan yang dilakukannya atau oleh pihak ketiga atau yang disangka dilakukanya, atau melakukan intimidasi atau memaksanya atau pihak ketiga untuk alasan-alasan yang berdasarkan pada segala bentuk diskriminasi, dimana rasa sakit atau penderitaan tersebut dilakukan atau dimulai atau dengan persetujuan atau pembiaran oleh aparat Negara atau orang lain yang bertindak dengan kapasitas resmi. Hal ini tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang ditimbulkan akibat sesuatu yang sifatnya melekat atau merupakan turunan dari sanksi hukum yang sah”.Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan lain yang merendahkan derajat martabat manusia diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 di dalam Pasal 28G yang menyatakan “…Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT/KAP) pada tanggal 28 Oktober 1998 melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia.
Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadat Menurut Agama dan Kepercayaan Masing-Masing
Hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan dan beribadat sudah sejak lama menjadi bagian dari hak konstitusi RI (pasal 29 ay.1, pasal 28 (e) ay.1 dan 2 UUD 1945). Secara internasional hak berkeyakinan ini dijamin pada pasal 18 Deklarasi Universal HAM, hak tersebut dijelaskan lebih lanjut pada pasal 18 Kovenan Internasional Hak SIPOL yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan karenanya berlaku sebagai hukum melalui Undang-undang No. 12 tahun 2005.Hak asasi untuk bebas beragama/berkeyakinan tergolong hak yang bersifat “non-derogable”, yang artinya tidak dapat ditangguhkan dalam keadaan apapun, meskipun dalam kondisi negara dalam keadaan darurat (bahaya). Namun penerapan kebebasan berkeyakinan/beragama masih buruk. UU No.1/PNPS/1965 yang mengatur tentang pokok-pokok ajaran agama justru memberi wewenang Dept. Agama untuk menyelidiki status keyakinan tertentu sebagai agama atau bukan dan juga pada UU itu hanya 6 agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan Konghucu) yang diakui. Dampak yang dikawatirkan terjadi adalah perlakuan yang berbeda atas agama/keyakinan yang tidak diakui – seperti kepercayaan lokal atau kasus Lia ”Eden” Aminuddin. (http://www.lbh-makassar.org/?p=1397)

B.    PENGERTIAN ELIT
orang-orang terbaik atau pilihan dl suatu kelompok, kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi (kaum bangsawan, cendekiawan, dsb);
meng·e·lite menjadi elite: organisasi kemasyarakatan itu kini cenderung  dan terpisah dr massa umat yg terbelakang, miskin, dan bodoh Elit lokal merupakan orang perorangan atau aliansi dari orang yang dinilai pintar dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat, misalnya para tokoh masyarakat, pemuka agama, dan orang-orang yang mempunyai kemampauan finansial yang relatif tinggi dibanding masyarakat umum. Atau dengan kata lain elit lokal diartikan sebagai elit non politik . Memang agak sulit untuk membedakan defenisi elit secara konseptual dan perlunya terminologi yang lebih cermat, dan ini sudah menjadi perdebatan panjang antara berbagai intelektual yang memberikan perhatian pada elit.
Elit lokal didefinisikan sebagai elit yang tidak memerintah tetapi memiliki pengaruh dalam masyrakat lokal dan elit politik diartikan secara fungsional sebagai elit yang memerintah. Otonomi daerah sebagai amanat dari reformasi disambut cukup antusias oleh masyarakat lokal. Ada banyak harapan dan keinginan yang mereka sandarkan pada otonomi darah, meningkatnya pembangunan daerah dan juga pengingkatan ekonomi dan kesejahteraan. Inilah mimpi-mimpi dari agenda desentralisasi dan implementasi otonomi daerah. (http://blog.unsri.ac.id/revolusi_Jalanan/artikel-politik-dan-kebijakan/peranan-elit-lokal-dalam-mewujudkan-demokratisasi-di-daerah-pasca-reformasi/mrdetail/6615/)


STUDY KASUS:

Ata’Doeloe dan Kini

ATA’. Tiga kata ini jika dilabelkan kepada seseorang, khususnya dalam masyarakat Bugis Makassar bisa memunculkan perasaan yang berbeda – beda. Bisa memunculkan rasa kebanggaan sebagian kecil orang, tapi kebanyakannya diartikan sebagai sebuah bentuk penghinaan. Jika kita berbicara strata sosial, maka inilah strata paling rendah dalam masyarakat Bugis Makassar. Hanya saja dalam konteks kekinian, Ata’ yang dulunya dipahami sebagai budak kini lebih dipahami sebagai bawahan, pesuruh, atau pembantu.
Suatu waktu, secara tidak sengaja saya menyaksikan seorang ibu rumah tangga, sebut saja namanya Daeng Massuro memperlakukan secara tidak manusiawi seorang anak (umurnya baru sekitar 7 tahun) yang diangkatnya sebagai “pembantunya”. Hanya karena persoalan yang sangat kecil, sang anak ini disuruh membeli indomie rasa kari ayam, sementara dia pulang dengan membawa indomie rasa soto ayam. Sebuah sandal jepit bututpun melayang ke mukanya. Masya Allah, saya terkejut bukan main, mata saya nanar menyaksikannya seraya mengepalkan tangan. Duuchh, anak itu yang dibelakang hari saya ketahui seorang anak yatim begitu tegar menerima perlakukan majikannya. Dia hanya mengelus – elus pipinya seraya mengiris penuh kesakitan. Isak tangis tidak terdengar sedikitpun, mungkin karena sudah terbiasa menerima tempelen sandal jepit seperti itu.
Bukan satu dua kali saya menyaksikan kekejaman seperti kisah diatas. Mengangkat pembantu adalah sebuah pilihan berat karena pembantu idealnya adalah partner kerja meskipun dia bekerja dibawah perintah kita. Mereka bukanlah barang mati, yang tidak punya pikiran dan perasaan. Mereka tentu punya juga keinginan untuk dihargai, dan tentu saja tidak bakalan menolak jika diajak berkomunikasi secara baik dengan penuh kesantunan dan kasih sayang. Karena itu, tidak selayaknya pembantu diperlakukan layaknya ata’ atau budak. Dalam banyak kasus—semoga kita tidak termasuk diantaranya—seringkali pembantu dipersamakan dengan budak. Yang selalu muncul di pikiran kita, ”pokoknya dia harus nurut, kalau tidak awas …. ”. Kasus Daeng Massuro diatas merupakan satu bukti nyata dimana pembantu diperlakukan tak lebih dari seorang budak baginya.


OPINI:
Terkadang kita suka salah memperlakukan pembantu,kita harus ingat  “pembantu juga memiliki hHAK sama seperti kita(majikan) tetapi hanya beda kondisi kehidupannya.Kita memiliki prinsip BINEKA TUNGGAL IKA meskipun kita berbeda-beda tetapi kita tetap satu jua
,berbeda ras,suku,budaya,adat serta agama namun kita semua sebagai WNI tetap memiliki HAK yg sama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar